Perempuan Penentu
Setiap kali mendengar cerita Ibu, saya kerap kali
berpikir kalau jiwa sebagai perempuan penentu ini sudah muncul sejak saya masih
kecil. Ibu bercerita kalau sewaktu kecil, saya mengidolakan dua orang Mien.
Mien Sugandhi dan Mien R. Uno. Mungkin nama Mien yang kedua sedang banyak
terdengar karena salah satu putranya dilantik menjadi RI 3,75 (baca: Wakil
Gubernur DKI Jakarta). Mien yang pertama adalah seorang Menteri Urusan Peranan
Wanita di masa lampau. Beliau seangkatan dengan Harmoko, menjabat sebagai
Menteri sewaktu Bapak Try Sutrisno jadi Wakil Presiden.
Mien Sugandhi (sumber foto: www.antaranews.com)
Entah alasan apa yang membuat saya jadi fans dua orang
Mien tersebut. Namun pada akhirnya semakin ke sini, saya sadar betul mereka typical perempuan penentu. Dan saya
belakangan ini menikmati posisi menjadi perempuan penentu. Perempuan yang
otaknya diberdayakan, tidak hanya manutan, punya kemampuan untuk menganalisa
dan memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya maupun bagi orang banyak.
Saya mulai
belajar, sejak kecil orang tua memang memberi banyak masukkan, orang luar juga,
akan tetapi yang memutuskan apakah saya akan patuh dengan apa yang mereka
sarankan atau tidak adalah diri saya sendiri. Saya teringat dengan pendapat Pak
Rhenald Kasali yang sering sekali beliau tulis di buku-bukunya, “Jadilah driver,
sang penentu arah, pembawa penumpang ke tempat tujuan dan mengambil risiko.
Jadilah driver karena kesadaran yang terbentuk akibat dari pendidikan dan
pengalaman, bukan karena tidak ada
pilihan lain.”
Mien Uno (sumber: jakartaraya.indopos.co.id)
Sering nggak sih kita mendengar orang lain berkata,
“Saya tidak punya pilihan lagi, jadi terpaksa melakukan ini.” Oh My God,
bawaannya saya pengen nguliahin pakai kata-katanya Fahmi, “Kalau kamu mulai
merasa berkorban atau mengalah, semua perjuangan dan apa yang kau sebut cinta
itu adalah hoax.” Ini memang hanya
perkara diksi, semacam penggunaan kata pribumi yag belakangan ini trending di media gara-gara pidatonya
Gubernur DKI Jakarta (jadi RI-3 gitu amat sih, jelas nggak boleh punya mental passenger itu). Tapi perbedaan pilihan
diksi tersebut menurut saya membawa pengaruh yang besar. Cinta itu menentukan.
Meenentukan bukan tentang siapa kalah siapa berkorban atau jadi korban.
Menentukan tentang apa yang terbaik untuk dilakukan ketika menghadapi sebuah
situasi dan kondisi yang mungkin tidak ideal. Menentukan adalah tentang menang
dan kamu sudah belajar. Afirmasi yang sangat positif ya….
Mimin Blog a.k.a saya sendiri (dok.pribadi)
Jadi, selamat menjad perempuan penentu, gaes. Semua
keputusan ada di tanganmu. Salam anti galau. Salam anti baper.
XOXO
Komentar
Posting Komentar